Penulisan karya di blog ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas mata kuliah Dasar-dasar Jurnalistik

Sabtu, 05 November 2016

contoh berita feature sejarah.


   Simbol Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.



Gedung tua di ujung Jalan Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau, tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Sesungguhnya, bangunan ini bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya. “Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.

Akur hanya pasrah saat Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.

Tembok bangunan itu bercat putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland Indice Sporing (NIS) .

Di bawah bangunan ini ada bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.

Konon, gedung ini merupakan bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag. Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.

Pembangunannya dilakukan oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan. Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.

Kepala Tata Usaha Stasiun Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Pendidikan,” katanya.

Dia menambahkan, PT KAI mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang. Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen di Jakarta.

Di depan gedung ini terdapat sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu, taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.

Belakangan, keberadaan SCS semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai, meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat UPS.

Saat Tempo mencoba menikmati pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga, bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar. Aromanya kurang sedap.

Sebenarnya, Abduh betah berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,” tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian dan uluran tangan.

Sumber          :  KORAN TEMPO
Tanggal terbit :  Jum’at, 20 Maret 2009
Penulis          : EDI FAISOL
Egitta dwi firlyana
Nim: 41160013

Rabu, 02 November 2016

Contoh Berita Feature



                                         

             Menyulap Tanah Tanah Menjadi Hutan




    Sekitar 20 tahun lalu, Ngorageko dan Lekogo adalah kampung bertanah tandus. Berkat tangan Sebastian Tande, tanah tandus itu berubah menjadi hutan yang memberikan kesejukan sekaligus kesejahteraan kepada banyak orang. 

        Hutan seluas 20 hektar itu berada di Kampung Ngorageko dan Kampung Lekogo yang masuk wilayah Desa Keligejo, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Di hutan yang berada di lahan miring Bukit Aimere itu tumbuh pohon cengkeh, kemiri, pisang, kopi, mangga, nangka, vanili, cokelat, mahoni, sengon, merbau, angsana, dan tanaman berumur panjang lainnya.
Aneka burung dan binatang hidup di antara rerimbunan pohon. Udara terasa sejuk segar meski pada siang hari yang panas. Sementara itu, suara daun-daun pepohonan yang tertiup angin kencang terdengar seperti nyanyian. Ini seperti surga kecil yang belum lama hadir.
Sebelum dihijaukan oleh Sebastian Tande, wilayah ini bertanah tandus. Jika musim hujan tiba, tanah tandus itu menjadi labil dan mengancam keselamatan warga. Pada 1981, misalnya, tanah miring di kawasan itu longsor dan menewaskan empat warga Kampung Ngorageko.
Sebastian Tande yang merupakan petani tulen tinggal di wilayah itu sejak 1995. Melihat tanah di sana begitu tandus pada musim kemarau dan rawan longsor pada musim hujan, ia berinisiatif menanam berbagai jenis tanaman bernilai ekonomi. Ia memanfaatkan lahan di antara rumah penduduk yang terpencar-pencar.
Awalnya, ia berpikir usaha kerasnya itu akan sia-sia. Namun, ia menanam dan terus menanam tanpa lelah. Ternyata, bibit tanaman justru tumbuh subur. ”Saya menanam secara bertahap, sedikit demi sedikit,” kata Sebastian Tande di Bajawa, pertengahan Agustus lalu.
Hingga 2016, lahan tandus yang telah ditanami dan ”disulap” jadi wilayah hijau mencapai sekitar 20 hektar. Lahan seluas itu bukan hanya milik Sebastian, melainkan juga milik sejumlah warga Kampung Ngorageko dan Lekogo.
Awalnya, Sebastian Tande menanami lahan tandus itu sendirian. Belakangan, warga lain mulai ikut dalam gerakan penghijauan itu. Sebastian lantas membentuk dan memimpin kelompok tani ”Hutan Mandiri”. Kelompok itu terdiri atas 30 anggota yang sebagian besar lulusan sekolah menengah atas yang belum memiliki pekerjaan tetap.
Melalui kelompok tani itu, Sebastian Tande memberikan pemahaman kepada anggota kelompok dan warga kampung tentang pentingnya hutan. Ia juga melatih mereka untuk mencintai hutan dan hidup dari hasil hutan.
Ia meyakinkan para penduduk bahwa aneka tanaman keras sesungguhnya bisa tumbuh di seluruh NTT. Hanya saja selama ini warga belum tahu bagaimana membudidayakan aneka tanaman tersebut di lahan-lahan kering yang tersebar di NTT.
Ia percaya, meski tidak memiliki sungai, tetap ada air di bawah permukaan tanah. Dengan begitu, warga bisa bergotong royong mengebor tanah guna mendapatkan air yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Pemerintah juga bisa membangun sejumlah embung sebagai sumber air pertanian.
Namun, cara terbaik untuk menghasilkan sumber air, menurut Sebastian, adalah dengan menghijaukan daerah-daerah yang gersang. Alasannya, akar-akar tanaman bisa mengikat air. ”Jadi, kalau tanaman tumbuh subur di satu daerah, pasti daerah itu bisa menghasilkan sumber air,” ujar Sebastian.
Sebastian Tande
Lahir:
Bajawa, 22 Januari 1955
Istri:
Monika Roga
Anak:
  1. Olivia Moe (28)
  2. Marthen Surib (27)
  3. Debrito Niki (25)
  4. dan Hermina Wula (21)
Pendidikan:
Lulus Sekolah Dasar
Pekerjaan:
Petani, Ketua Kelompok Tani Hutan Mandiri
Penghargaan:
  1. Petani Teladan Kabupaten Ngada 2007
  2. Kalpataru Kabupaten Ngada 2008
  3. Kalpataru Provinsi NTT 2009

Panen sepanjang tahun
Sejak awal, Sebastian Tande memilih menanam tanaman bernilai ekonomi untuk menghijaukan lahan tandus di kampungnya. Ia menanam aneka tanaman keras, seperti jati, mahoni, bambu, sengon, kemiri, cengkeh, angsana, merbau, cokelat, dan mangga.
Di sela-sela tanaman keras, ia juga menanam pisang, vanili, padi, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Tanaman berumur pendek ini memberikan penghasilan lebih cepat. Dalam tiga bulan, tanaman itu sudah bisa dipanen untuk kebutuhan sehari-hari.
Dengan menanam aneka tanaman yang berumur pendek dan panjang, Sebastian dan warga bisa mendapatkan penghasilan dari lahan pertanian mereka secara berurutan nyaris sepanjang tahun. Setiap bulan, mereka bisa panen pisang. Juli-Agustus, mereka panen vanili. Juli-September, mereka panen cengkeh, cokelat, dan kopi. Oktober-Desember, mereka panen mangga.
Setiap tahun, secara bergantian, mereka bisa mendapatkan uang dari sengon yang bisa dipanen pada usia lima tahun. Sebastian juga sudah menikmati hasil panen cengkeh, kemiri, cokelat, kopi, dan nangka.
Aneka hasil panen itu ia jual dengan harga yang lumayan. Cengkeh ia jual Rp 98.000 per kilogram, kemiri Rp 25.000 per kilogram, cokelat Rp 60.000 per kilogram, kopi Rp 45.000 per kilogram, nangka Rp 10.000-Rp 30.000 per buah, dan mangga Rp 20.000 per kilogram. Harga ini berlaku di tempat produksi. Jika diantar ke Bajawa yang terletak 25 kilometer dari Desa Keligejo, harganya lebih tinggi lagi.
”Saya juga sudah panen jati, sengon, dan mahoni, tetapi tanaman lain butuh beberapa tahun lagi untuk dipanen. Saya lagi cari bibit pohon jabon. Menurut cerita orang, tanaman itu bisa dipanen pada usia dua-tiga tahun. Saya sudah mencari ke Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan Ngada, tetapi tidak dapat,” kata Sebastian Tande.
Dengan musim panen yang seolah tanpa henti itu, Sebastian Tande menjadi lebih sejahtera ketimbang sebelumnya. Ia, misalnya, berhasil menyekolahkan tiga anaknya hingga ke tingkat perguruan tinggi di Yogyakarta dan Surabaya. Ia juga membangun rumah keramik layak huni di sisi jalan utama Trans-Flores, yakni antara Aimere dan Bajawa. Di samping rumah itu dia bangun pula sebuah warung makan, warung kopi, dan buah-buahan.
Ia mempekerjakan tiga warga dari desa tersebut. Dua orang bertugas mengurus tanaman, termasuk memanen hasil, menjemur, membersihkan, dan mengepak untuk dijual. Satu orang lagi bertugas membantu di warung makan dan warung kopi. Mereka bekerja pukul 09.00-16.00 Wita dan diberi honor masing-masing Rp 1.250.000 per bulan.
Kerja keras Sebastian Tande selama bertahun-tahun sudah diakui oleh pemerintah. Ia memperoleh Kalpataru dari Pemerintah Kabupaten Ngada pada 2008 dan Kalpataru dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 2009.
Namun, lebih penting dari itu adalah tanah tandus di Desa Keligejo kini telah hijau. Tanah yang dulu sering membawa bencana itu kini membawa berkah sepanjang tahun. 



Sumber : Kompas 
Tanggal terbit : 31-Oktober-2016
Penulis : KORNELIS KEWA AMA
Sartika