Penulisan karya di blog ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas mata kuliah Dasar-dasar Jurnalistik

Feature Biografi

85 Tahun Jakob Oetama




Hari ini, 27 September 2016, genap 85 usia Bapak.... Mari, Pak, kita jumpa lagi sambil menyeruput secangkir teh. Lalu bicara tentang pers, tentang politik, jagat yang Bapak fasih menguraikannya. Juga tentang Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera, namun masih terus jadi impian.

Bapak putra asal Jowahan,  di dekat Candi Borobudur, yang pintar. Semula ingin jadi guru, tapi Romo Oudejans mengatakan, “Guru sudah banyak, wartawan belum.”

Lalu jadilah Bapak wartawan par excellence, yang suka mengajak junior agar gumunan, agar ‘menunggangi gelombang berita’ (riding the news), dan agar menjadikan berita sebagai kapstok untuk menumpahkan pengetahuan dan empati. Bapak juga yang mengingatkan, agar wartawan selalu mengetuk (frapper toujours), juga tak melupakan untuk apa kemerdekaan pers yang kini digenggam. Ya, freedom for apa setelah freedom from tirani.

Itu karena Bapak adalah sosok...seoranng tuan Un Monsieur, bagi sebuah suart kabar. Dengan surat kabarlah Bapak meneruskan amanat hati nurani rakyat, tidak dengan suara lantang membahana, tetapi dengan biasa saja yang penting pesan tersampaikan. The message gets accross. Itulah resep seorang maestro komunikasi.

Lain waktu, Bapak memesona kami dalam wacana politik tinggi. Adakah “Jalan Ketiga” ketika kapitalisme, lebih-lebih komunisme, tak bisa menghadirkan kesejahteraan bagi umat manusia. Bapak juga mengingatkan, agar politik tak jatuh dalam perpolitikan, meski politisi memang terkenal ulet, meresapi betul, bahwa “Politics is the Art of the Possible”. “Mungkin” bukan untuk sekedar menggapai kekuasaan, tetapi juga mengamalkan kekuasaan yang diperoleh untuk kemaslahatan rakyat.
Di luar politik yang menyita perhatian, Bapak tak lupa mengajari kami tentang etos kerja, mengingatkan kami bahwa“Laborare est Orare”.

Bekerja itu juga berdoa/beribadah. Kata Bapak, kami masih boleh terus bermain karena kami mewarisi gen homo ludens, mahluk bermain. Namun, jati diri karyawan janganlah dilupakan karena manusia adalah homo faber, mahluk bekerja. Bapak ingatkan, makin rajin kita bekerja, makin tinggilah harkat kita sebagai manusia.
Bapak juga mengingatkan, bahwa bekerja itu bersama, dalam tim, memunculkan sinergi, di mana 2+2 tak lagi 4, tetapi 16. Cita-cita dan tujuan bersama seharusnyalah mengalahkan Jalousie d’Amitie, cemburu antar teman.

Terhadap primus interpares, para pemimpin muda setelah Bapak, legitimasi hanya bisa muncul jika ada kinerja bagus. Bahkan ini pun belum cukup karena pemimpin dihormati pertama-tama bukan karena kepintarannya, melainkan karena kepeduliannya. Di sinilah Bapak mengajari konsep“Ngewongke”, menghargai orang. Masih selalu terbayang, betapa bungahnya rekan saat Bapak memujinya dan mengatakan“You boleh.”

Namun, saat Bapak berulang-tahun ke-85, yang kami ingat bukan saja ujaran Bapak tentang pers dan politik, atau juga manajemen, melainkan juga pesan akan sikap hidup. Satu yang sering Bapak sampaikan dan semoga bisa menerangi sepanjang waktu adalah agar kami murah hati. Bapak suka mengutip Ibu Teresa yang mengatakan “Give, But give until it hurts”. Itulah tantangan, mengingat kondisi sulit membuat banyak orang menggenggam uangnya erat-erat.

Terakhir, Bapak juga suka berpesan, pelihara hati dan jagalah agar ia tidak luguten, atau berselimut duri. Masuk akallah itu, karena di saat sulit sekarang ini, apa yang kita butuhkan kecuali kebersamaan. Syukurlah, itu pula yang dikatakan Mas Lilik Oetama, CEO penerus bapak.

Hormat dan cinta kami untuk Bapak sebagai sosok panutan Clarumetvenera bile nomen, yang masyhur dan tehormat. Kiranya dalam kasih Tuhan yang Maha Kuasa Bapak dapat terus menyusuri hari-hari oktogenarian bersama keluarga dan kami semua yang berbahagia di hari ulang tahun Bapak. Terimalah doa, hormat dan kasih kami yang paling tulus.


Sumber  : KOMPAS, 27 OKTOBER 2016
Penulis   : NIN
Neng Aliah Sari
41160242


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar