Simbol
Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini
menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.
Gedung tua di ujung Jalan
Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau,
tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area
itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi
di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi
sarang kelelawar dan burung hantu.
Sesungguhnya, bangunan ini
bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya.
“Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak
dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan,
Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.
Akur hanya pasrah saat
Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan
penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk
melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.
Tembok bangunan itu bercat
putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak
banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan
transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro
Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland
Indice Sporing (NIS) .
Di bawah bangunan ini ada
bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu
dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan
kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis
seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus
sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.
Konon, gedung ini merupakan
bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata
Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun
pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri
Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag.
Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.
Pembangunannya dilakukan
oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan.
Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan
yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan
kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata
Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di
Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang
sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.
Pada masa pendudukan Jepang,
gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau
kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada
Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di
Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.
Setelah Indonesia merdeka,
pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan
alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.
Kepala Tata Usaha Stasiun
Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status
pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia
(KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen
Pendidikan,” katanya.
Dia menambahkan, PT KAI
mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang.
Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca
Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen
di Jakarta.
Di depan gedung ini terdapat
sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu,
taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat
Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota
Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya
sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir
pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.
Belakangan, keberadaan SCS
semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu
telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini
telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan
depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai,
meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat
UPS.
Saat Tempo mencoba menikmati
pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga,
bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar.
Aromanya kurang sedap.
Sebenarnya, Abduh betah
berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,”
tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian
dan uluran tangan.
Sumber : KORAN TEMPO
Tanggal terbit : Jum’at, 20 Maret 2009
Penulis : EDI FAISOL
Egitta dwi firlyana
Nim: 41160013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar